Indonesia Pasca Kemerdekaan: Kubu Reformis dan Konserfatif
“Kehadiran seorang figur dominan dalam situasi kritis dan momen historis yang menentukan,” tulis Lloyd George, “bisa merubah jalannya peristiwa selama bertahun-tahun bahkan beberapa generasi mendatang.” Dengan kejatuhan atau kematiannya, pengaruh pemimpin besar tidak serta-merta sirna. Ada gading yang ia tinggalkan, bernama karisma. Ibarat sumur yang mengalirkan energi (kebaikan atau keburukan), karisma tak pernah habis karena diberikan. Ia boleh tertimbun sementara waktu oleh lumpur gerak sosial atau histeria massa. Tetapi dalam reformasi yang tak kunjung menemukan orde sosial baru, disertai hilangnya keteladanan dan kepercayaan pada janji-janji perubahan, orang-orang mencari juru selamat. Mereka menggali kembali sumur karisma.
Transisi menuju demokrasi merupakan fase tergenting dan frustating di ruang tunggu sejarah. Ketika ”yang lama” mulai pudar, sedang ”yang baru” tak kunjung lahir, masyarakat terombang-ambing dalam limbo: antara tertarik ke orbit nostalgia (merayakan kembali masa lalu) atau meretas visi masa depan (konsolidasi demokrasi).
Dalam kegalauan ini segera berjangkit virus kekecewaan publik dalam bentuk apatisme dan pesimisme. Hal ini menyusul kekacauan dan ketidakpastian jagad politik, lambannya pemulihan ekonomi, ketiadaan kepastian hukum, bentrokan etno-religius, anarkisme massa, manuver avonturir kaum ”ronin”, perpecahan pemimpin politik, berjangkitnya neo-KKN serta melemahnya legitimasi dan efektivitas pemerintahan baru.
Diperlukan kepemimpinan otoritatif untuk memulihkan keyakinan dan kepercayaan publik. Tetapi dalam kasus Indonesia, demokratisasi berkembang memenuhi nubuat sinis dari Thomas Carlyle, ”Democracy, which means despair of finding any heroes to govern you.” Para pelopor reformasi gagal menjadi pahlawan perubahan, karena hasrat kemapanan yang terlampau cepat. Nyaris memenuhi gambaran sumir Hannah Arendt, “Seorang revolusioner (baca: reformer) yang paling radikal segera menjadi konservatif setelah revolusi berakhir.”
Konservatisasi kaum reformis mudah terjerat jejaring status quo, membuat batas antara masa lalu dan masa depan menjadi kabur. Kepercayaan luntur, pahlawan pudar, dan keyakinan pun lenyap. Untuk mencari sandaran, orang-orang kembali berpaling ke sumur karisma. Para pemimpin dengan defisit legitimasi dan reputasi mencoba meraih kecemerlangan dengan berasosiasi dan berempati pada ”pemimpin besar”.
Reformasi pada hakikatnya merupakan proses perubahan atau perombakan sistem nilai dan tatanan lama yang dianggap keliru. Dalam kerangka ini, reformasi sebetulnya memiliki makna hakiki yang positif. Namun, dalam konteks transisi otoritarianisme di Indonesia, pemaknaan reformasi semacam ini mesti diimbuhi oleh sejumlah catatan kaki.
Pertama, sudah terlampau lama sistem politik tidak mengakomodasi tuntutan-tuntutan perubahan yang sebetulnya berkembang di tengah sebagian masyarakat. Sudah terlampau lama kita tidak dibiasakan dalam suasana perubahan politik yang mendasar dan substantif. Oleh karena itu, reformasi yang baru bisa dikerjakan setelah presiden berganti, mendatangkan kekikukan dan kegagapan dari hampir semua kalangan. Dalam bentuknya yang konkret, kekikukan dan kegagapan itu mewujud dalam euforia—lonjakan semangat dan kegirangan yang tidak terkendali—dimana-mana. Dan apapun yang tidak terkendali tentu saja layak jadi bahan kecemasan.
Kedua, terlalu lama sebetulnya sistem politik Orde Baru menimbun masalah tanpa mencicil pemecahan-pemecahan konkret. Akibatnya, ketika kekuasaan berganti dan tuntutan reformasi menguat-tak-tertahankan, yang kemudian tersedia adalah persoalan sosial dan politik yang menggunung. Reformasi pun berhadapan dengan sebuah pertanyaan pelik: darimana perubahan-perubahan itu harus dimulai? Apa saja yang harus diprioritaskan untuk diubah? Bagaimana menghadapi gelombang persoalan sosial-politik-ekonomi yang menggunung dan butuh pemecahan segera? Singkatnya, dalam konteks transisi dari rezim otoritarianisme di Indonesia pasca Soeharto, reformasi adalah sebuah agenda kerja yang pelik, rumit, alot, dan pasti makan biaya.
Ketiga, proses reformasi terjadi sebagai sebuah proses pendadakan karena paksaan keadaan, bukan melalui proses sosial yang alamiah dan gradual. Hal ini menyebabkan proses reformasi harus dijalani tanpa ada kesiapan yang cukup dari para pelaku politik dan pemerintahan untuk membangun saling percaya dan membangun kesiapan untuk melakukan kompromi-kompromi politik. Proses reformasi pun menjadi sesuatu yang mencemaskan. Perubahan berjalan cepat namun kearifan setiap pelaku yang terlibat di dalamnya tidak terbangun secepat jalannya perubahan itu.
Dengan mempertimbangkan ketiga catatan itu, dapat dikatakan bahwa di satu sisi, reformasi memang menjanjikan terjadinya perubahan di banyak segi kehidupan politik dan pemerintahan; namun, di sisi lain, reformasi yang tidak terkelola bisa menjadi sesuatu yang mencemaskan. Dengan kata lain, jatuhnya Soeharto dan bergulirnya proses reformasi tidak dapat serta-merta dipahami sebagai berita baik tentang akan berjalan suksesnya transisi demokrasi di Indonesia.
Satu wacana berpikir yang ingin saya hadirkan dalam tulisan pengantar diskusi ini adalah bagaimana kita mendudukkan reformasi dalam maknanya yang tepat sambil mencatat sejumlah bahaya di dalamnya yang bisa membelokkan transisi tidak ke arah pembentukan demokrasi, tetapi ke arah terkonsolidasinya kembali otoritarianisme.
Memaknai Reformasi
Merujuk pada interpretasi Eep Saefulloh Fatah, terdapat beberapa substansi perubahan mendasar yang dapat kita identifikasi dalam proses reformasi. Secara singkat dapat kita kita uraikan sebagai berikut:
Pertama, kekuasaan mengalami proses desakralisasi. Salah satu hakikat reformasi yang penting adalah terjadinya desakralisasi (pengakhiran kesakralan) kekuasaan beserta perangkat-perangkatnya. Di masa Orde Baru, kekuasaan cenderung disakralkan sehingga kritik atau penentangan atas kekuasaan tidak dimungkinkan. Di era reformasi, proses desakralisasi ini seharusnya sudah mulai berlangsung, paling tidak itulah yang kita harapkan. Namun tepat tanggal 27 Januari 2008 menjadi titik tolak bagi kita untuk menyadari bahwa reformasi yang sama-sama kita perjuangkan kelahirannya sepuluh tahun lalu, kini mulai memunculkan indikasi-indikasi kegagalannya. Ketika peristiwa meninggalnya The Smiling General, simbol dari rezim otoriter negeri ini, sang Bapak Pembangunan yang melilitkan hutang negara para rakyatnya bahkan pada setiap leher fetus yang terlahir sebagai WNI, disambut dengan tangisan kehilangan bak pahlawan yang gugur di medan perang, diagung-agungkan bak “juru selamat” negeri ini, bahkan diperjuangkan status “kepahlawanannya”. Gejala trans inipun memperoleh peneguhannya dari liputan media. Mereka dalam defisit pengaruh selalu dalam dahaga pencarian status, sedangkan salah satu kekuatan magis dari media adalah menganugerahkan status pada seseorang. Dalam setting media, fenomena sakit, meninggal, dan prosesi panjang pemakamannya lantas menyediakan arena bagi pertunjukan drama absurd kehidupan di negeri ini. Baru sepuluh tahun sejak prosesi penggulingan tampuk kekuasaannya, rakyat Indonesia sudah mengalami amnesia dengan “tangan besi” yang telah mencekiknya lebih dari tiga dekade, dan begitu lapang dada mewarisi seperangkat sistem korup yang mengakar kuat menjadi sebuah “budaya” bangsa dan tumpukan hutang yang tak akan lekang dimakan waktu.
Kedua, pembangunan mengalami demitologisasi. Reformasi juga seyogianya mengubah persepsi banyak orang tentang “pembangunan”. Jika sebelumnya pembangunan dimitoskan sebagai sesuatu yang niscaya mendatangkan kebaikan-kebaikan bagi masyarakat; saat ini pembangunan banyak dikritik sebagai salah satu sumber dari banyak malapetaka sosial-politik-ekonomi yang dihadapi rakyat. Saat ini, banyak orang berbicara mengenai pembangunan sebagai sebuah kekeliruan. Demitologisasi pembangunan di satu sisi merupakan hal positif. Adalah tidak sehat terlalu mengagung-agungkan pembangunan dengan pendekatan kacamata kuda (hanya melihat aspek keberhasilannya dengan menutup mata pada aspek-aspek kegagalannya). Namun di sisi lain, menafikan sepenuhnya hasil konkret pembangunan juga merupakan kekeliruan. Adalah benar bahwa banyak kekeliruan yang telah dilakukan selama pembangunan, namun juga benar bahwa pembangunan telah mendatangkan banyak kemajuan fisik di tengah masyarakat. Pengakuan seimbang seperti inilah yang seyogianya dikembangkan dalam masyarakat, sekalipn mesti diakui bahwa secara umum, pembangunan ala Orde Baru terbukti gagal menjalankan humanisasi; menjaga dan meningkatkan martabat manusia.
Ketiga, Orde Baru mengalami degradasi kredibilitas. Proses reformasi juga ditandai oleh turunnya secara drastis kredibilitas Orde Baru. Saat ini, hampir tidak ada orang yang bersedia diidentikkan dengan Orde Baru. Orde Baru menjadi sesuatu yang tidak laku. Padahal, sebelumnya Orde Baru diagungkan secara heroik. Tetapi reformasi tidak seutuhnya menggulingkan Orde Baru, secara sistemik rezim ini boleh dikatakan runtuh, namun ia tetap meninggalkan antek-antek dengan seperangkat nilai, budaya dan mesin politik yang kini termanifestasi menjadi sebuah Neo-Orde Baru (Orde Baru Wajah Baru) yangmulai menghanti realita kehidupan politik negeri ini.
Keempat, hak dan kewajiban rakyat mengalami redefinisi. Segera setelah terjadi pergantian presiden, kebebasan menjadi suasana umum di mana-mana. Ini merupakan salah satu gejala dalam kerangka terjadi redefinisi (pendefinisioan ulang) hak-hak politik rakyat. Jika di masa sebelumnya sangat sedikit hak politik yang bisa dinikmati rakyat, ditengah reformasi, rakyat seolah-olah boleh menentukan sendiri hak-hak politik yang harus dinikmatinya. Daftar hak politik rakyat pun bertambah panjang secara dramatis. Bahkan setiap kali ada atura—sesikit apa pun aspek pengendalian dalam aturan itu—banyak orang serta-merta berteriak bahwa hak-hak rakyat akan dipasung kembali.
Kelima, sejarah mengalami reinterpretasi. Bersamaan dengan berjalannya proses reformasi, sejarah mengalami penafsiran ulang. Sebegitu hebatnya reinterpretasi ini berlangsung sehingga mantai Presiden Soeharto yang pada awalnya dipahami dalam sejarah sebagai penyelamat negara dari kudeta komunis ditahun-tahun 1965-1967, belakangan ini justru digugat peranannya dalam G-30-S/PKI. Peranan-peranan yang dimainkan oleh Soeharto di dalam perjalanan sejarah bangsa pun—misalnya dalam peristiwa Serangan Umum 1 Maret di Yogyakarta—mengalami gugatan dan reinterpretasi serupa. Pendekatan sejarah yang tidak normatif memang mengenal diktum: sejarah ditulis oleh mereka yang menang. Ketika Soeharto menjadi “pemenang” selama mas Orde Baru, interpretasi atas sejarah telah dibuat sesuai dengan selera kekuasaannya. Peranan Sukarno dalam banyak hal, misalnya, tidak terlampau ditonjolkan. Terlebih-lebih peranan sejumlah tokoh Islam semacam Syafruddin Prawiranegara dan Mohammad Natsir.
Keenam, pemerintahan nelemah dan seolah-oleh dilemahkan. Ada anggapan yang saat ini berlaku umum bahwa pemerintahan yang terbaik adalah pemerintahan yang bisa dibuat selemah-lemahnya. Dalam kaitan ini, bahkan berkembang anggapan bahwa segala sesuatu yang datang dari pemerintah pasti salah adanya. Setidaknya, anggapan-anggapan semacam ini berkembang begitu tegas selama masa pemerintahan Habibie. Kita bisa mengerti mengapa pikiran semacam ini berkembang sebab terlampau lama memang sistem politik kita dicengkeram oleh pemerintahan yang terlampau kuat. Namun demikian, tetap mesti kita ingat bahwa tidak pernh ada sistem politik yang berhasil tanpa memiliki pemerintahan yang efektif. Oleh kare itu, reformasi sebetulnya bukan semata-mata melemahkan pemeritahan selemah-lemahnya, melainkan membuat hubunan antara masyarakat dan pemerintah menjadi lebih proporsional.
Ketujuh, informasi mengalami pluralisasi. Semenjak pergantian presiden pada 21 Mei 1998, pemerintah telah mengeluarkan sangat banyak surat izin usaha penerbitan pers baru. Jumlah media massa mengalami pembengkakan secara revolutif dan dramatis. Reformasi pun ditandai oleh berkembangnya kebebasan pers serta peningkatan lalu lintas informasi. Informasi pun mengalami pluralisasi. Tidak ada lagi sekarang sumber informasi yang cenderung tunggal dan jenis informasi yang cenderung seragam. Di satu sisi, pluralisasi informasi adalah kecendrungan positif. Namun, tak bisa dhindari bahwa pluralisasi informasi juga mendatangkan kebingungan ditengah masyarakat. Informasi yang meluap dan beragam justru mendatangkan kemungkinan distorsi informasi yang sangat besar. Dalam kerangka ini, reformasi di bidang informasi di bidang informasi semestinya dilakukan dengan menegakkan mekanisme baru bagi pertanggungjawaban informasi. Menurut Eep Saefullah Fatah, ada baiknya usulah yang telah lama berkembang sejak lama, agar kita mendirikan peradila pers, dipertimbangkan secara seksama sebagai bagian pemaknaan reformasi yang tepat.
Dalam kerangka tujuh makna kontekstual reformasi di atas, mau tidakmau mesti kita akui bahwa sejauh ini, reformasi adalah proses yang sedang berlangsung dan sama sekali belum selesai. Ketika Orde Lama runtuh dan Orde Baru tumbuh di penghujung 1960-an, juga berlangsung proses yang serupa dengan proses yang berjalan saat ini. Belajar dari pengalaman masa itu, ada beberapa catatan yang bisa dibuat.
Pertama, reformasi yang sedang berlangsung saat ini belum tentu mengarah pada perbaikan-perbaikan yang sepenuhnya positif. Bisa saja proses reformasi itu justru menghasilkan distorsi-distorsi baru pada akhirnya. Oleh karena itu, ada kewajiban pada semua kalangan untuk terus siaga memahami dan menyikapi setiap proses yang berlangsung dalam kerangka reformasi itu dengan tepat.
Kedua, reformasi berlangsung di tengah kebelumadaan alternatif baru. Dalam reformasi, institusi lama ditentang seentara institusi baru belum ada; dan nilai-nilai lama ditentang sementara nilai-nilai baru belum terbangun. Dalam kerangka ini, reformasi bisa menjebak banyak orang untuk berpikir dan melangkah tanpa kendali nilai dan tanpa sisa kepercayaan pada institusi sosial yang tersedia. Jika ini yang terjadi, reformasi bisa mengarah pada pengembangbiakan anarkisme.
Ketiga, reformasi yang belum selesai saat ini masih akan terus ditandai oleh perkembangan demi perkembangnan. Oleh karena itu, berbagai tingkat perkembangan reformasi yang telah kita capai hingga sekarang adalah sesuatu yang sementara dan belum pasti. Pada titik inilah kita bisa memosisikan reformasi.
7 nov 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar